Inflasi hijau adalah salah satu fenomena ekonomi yang muncul akibat transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan.
Dewasa ini, kesadaran untuk menjaga lingkungan semakin besar baik di tingkat individu maupun pemerintah. Dari sisi individu, penggunaan plastik sekali pakai yang bisa mencemarkan lingkungan sedikit demi sedikit mulai dikurangi.
Selain itu, masyarakat juga mulai sadar pentingnya hemat energi. Bahkan penggunaan kendaraan roda dua maupun empat berbasis listrik sudah mulai marak.
Sementara dari sisi pemerintah, sejumlah langkah konkret juga sudah dilakukan. Misalnya, mencanangkan Net Zero Emission pada tahun 2060, dengan terus mendorong penggunaan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
Namun demikian, upaya untuk beralih pada segala sesuatu yang lebih hijau ini bukan tanpa hambatan. Dari segi ekonomi, transisi energi ini menimbulkan permasalahan baru yang dikenal dengan istilah green inflation atau inflasi hijau.
Baca juga: Ketahui Faktor Penyebab Inflasi di Awal Kemerdekaan
Inflasi Hijau atau Green Inflation atau Greenflation adalah kondisi ketika terjadi kenaikan harga barang dan jasa secara umum akibat proses transisi energi yang sedang dilakukan.
Secara khusus, peningkatan harga terjadi pada barang dan material yang ramah lingkungan. Peningkatan ini terjadi karena meningkatnya permintaan terhadap sumber daya tersebut, terutama pada masa transisi energi.
Misalnya, memproduksi baterai untuk Kendaraan Listrik (EV) membutuhkan sejumlah besar logam seperti litium, kobalt, dan nikel. Namun, tambang baru untuk logam tersebut mungkin memerlukan waktu 5-10 tahun lagi untuk dibuka.
Di sisi lain, harga untuk komponen-komponen itu pasti akan melonjak, karena tingginya permintaan dan minimnya pasokan.
Faktor-faktor lain juga berkontribusi terhadap inflasi ini, seperti dampak perubahan iklim (climateflation) dan kenaikan harga bahan bakar fosil (fosilflasi).
Menurut Isabel Schnabel, Anggota Dewan Eksekutif European Central Bank (ECB), kedua hal ini mempunyai dampak yang lebih signifikan dan tidak terlalu kentara terhadap inflasi dibandingkan inflasi hijau itu sendiri.
Baca juga: Begini Cara Menghitung Tingkat Inflasi Paling Akurat
Secara umum, inflasi hijau menghadirkan dampak yang kurang lebih sama dengan inflasi biasa. Berikut beberapa di antaranya.
Inflasi hijau menyebabkan kenaikan biaya energi karena peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan.
Investasi dalam infrastruktur energi terbarukan seperti angin, matahari, dan hidro membutuhkan biaya awal yang besar. Meskipun sumber energi ini lebih ramah lingkungan, proses transisinya akan meningkatkan harga energi bagi konsumen dan bisnis dalam jangka pendek.
Upaya untuk mengurangi jejak karbon dan mengadopsi praktik ramah lingkungan dalam industri akan meningkatkan biaya produksi.
Misalnya, penggunaan bahan baku yang lebih ramah lingkungan, proses manufaktur yang lebih bersih, dan teknologi yang lebih efisien energi sering kali lebih mahal.
Kenaikan harga akibat inflasi hijau dapat mengurangi daya beli konsumen. Ketika biaya energi, makanan, dan barang lainnya meningkat, konsumen harus mengalokasikan lebih banyak pendapatan mereka untuk kebutuhan dasar, sehingga mengurangi uang yang tersedia untuk pengeluaran lainnya.
Sektor industri yang sangat bergantung pada energi fosil dan tidak dapat dengan mudah beralih ke teknologi hijau akan menghadapi kesulitan finansial.
Industri seperti transportasi, manufaktur berat, dan pertambangan mungkin mengalami peningkatan biaya operasional dan persaingan yang lebih ketat dari perusahaan yang lebih cepat beradaptasi dengan teknologi hijau.
Baca juga: Mengapa Nilai Rupiah Bisa Turun dan Naik? Ini Alasannya
Inflasi hijau harus dihadapi bersama baik oleh sektor pemerintah, swasta, maupun individu. Ada beberapa cara menghadapi inflasi hijau yang bisa dilakukan sebagai berikut.
Untuk mengurangi dampak kenaikan biaya energi akibat inflasi hijau, diversifikasi sumber energi menjadi langkah penting. Pemerintah dan sektor bisnis bisa berinvestasi pada berbagai jenis energi terbarukan seperti matahari, angin, dan biomassa.
Diversifikasi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada satu jenis energi tetapi juga membantu menstabilkan harga energi dalam jangka panjang.
Di sisi lain, individu juga dapat mengadopsi penggunaan energi terbarukan di rumah mereka, misalnya dengan memasang panel surya, untuk mengurangi biaya listrik.
Meningkatkan efisiensi energi di berbagai sektor dapat membantu mengurangi dampak inflasi hijau. Perusahaan bisa mengadopsi teknologi dan praktik yang lebih efisien dalam produksi, distribusi, dan konsumsi energi.
Misalnya, menggunakan mesin dan peralatan yang lebih hemat energi, mengoptimalkan proses produksi untuk mengurangi limbah, dan menerapkan sistem manajemen energi yang canggih.
Pada level konsumen, mereka bisa berkontribusi dengan memilih produk dan layanan yang ramah lingkungan serta mengurangi konsumsi energi melalui kebiasaan sehari-hari yang lebih efisien.
Pemerintah memiliki peran penting dalam memitigasi dampak inflasi hijau melalui kebijakan dan insentif yang tepat.
Subsidi untuk energi terbarukan, insentif pajak bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi hijau, dan investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan bisa membantu mengurangi biaya transisi ke ekonomi hijau.
Selain itu, pemerintah bisa menyediakan bantuan keuangan dan pelatihan untuk membantu pekerja yang terdampak oleh perubahan industri, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan pekerjaan baru di sektor yang lebih hijau.
Itulah ulasan mengenai inflasi hijau yang perlu kamu ketahui. Kamu bisa mendapatkan informasi bermanfaat lain seputar keuangan dan perbankan dengan membuka laman Article OCBC.
Baca juga: 9 Lembaga Penunjang Pasar Modal di Indonesia & Perannya