Generasi Z disebut memiliki literasi keuangan paling rendah dibanding kelompok umur lainnya. Kelompok usia ini pun rentan terjerumus dalam pinjaman online alias pinjol.
Hal itu terungkap dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024. Survei ini merupakan kerja sama Badan Pusat Statistis (BPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Survei ini melibatkan kelompok umur 15-17 tahun, 18-25 tahun, 26-35 tahun, dan 51-79 tahun. Hasilnya, kelompok umur 15-17 tahun memiliki literasi keuangan paling rendah.
Dalam SNLIK 2024, kelompok 26-35 tahun, 36-50 tahun, dan 18-25 tahun memiliki indeks literasi keuangan komposit tertinggi. Masing-masing sebesar 74,82 persen, 71,72 persen, dan 70,19 persen.
Dengan hasil survei tersebut, Gen Z yang memiliki indeks literasi keuangan paling rendah di antara kelompok umur lainnya, disebut paling rentan mengalami masalah keuangan.
“Concen kami, mereka itu secara digital sangat literate, tapi financially mereka belum literate,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi.
“Ini sangat bahaya karena mereka mudah mengakses tapi mereka tidak paham. Jadi tidak jarang banyak anak-anak yang terjerat pinjaman online,” lanjut Friderica seperti dikutip dari Kumparan.
Baca Juga: Karyawan Kontrak Juga Bisa Ajukan KPR, Begini Penjelasannya!
Hasil survei ini sebenarnya senada dengan survei-survei yang dilakukan sebelumnya. Riset kredit Karma pada 2018 lalu menemukan bahwa sebanyak 39% Gen-Z memiliki utang untuk mengikuti tren dalam komunitasnya.
Sedangkan berdasarkan Research Institute pada 2019, alokasi tabungan Gen-Z hanya 10,17%. Ini menekankan bahwa mereka juga minim investasi, meski dianggap mengerti tentang pengetahuan menabung.
Gen Z dikenal akrab dengan istilah You Only Live Once (YOLO) dan Fear of Missing Out (FOMO). Menurut Frederica, hal ini membuat para Gen Z sering menempuh jalan pendek untuk memenuhi keinginannya.
Kebiasaan FOMO dan YOLO sering memicu kebiasaan buruk dalam pengelolaan keuangan. Kedua hal itu sering mendorong keputusan impulsif yang justru merugikan, seperti membeli barang-barang viral tanpa pertimbangan.
Kebiasaan ini bisa jadi bumerang karena menumbuhkan dorongan untuk selalu mengikuti arus. Namun tidak diikuti dengan pengetahuan finansial yang memadai.
"Untuk memenuhi kebutuhannya, untuk FOMO dan YOLO, tapi tidak financially literate. Jadi mending orang yang tidak punya akses terhadap digital,” kata Frederica.
Baca Juga: Pesangon Karyawan Resign - Perbedaan, Syarat, dan Hak
Tidak jarang, kata Frederica, fenomena ini akhirnya berujung pada banyak anak-anak yang terjerat pinjaman online (pinjol) baik yang legal maupun ilegal, bahkan terjerumus kepada judi online.
"Misalnya cepat banget mendapatkan pinjaman online yang bisa cair 15 menit, itu terus menggulung dan terjerat utang. Ini harus kita sikapi dengan bijaksana, anak-anak muda ini harus dibimbing," kata Friderica.
Tentu saja ada faktor yang menyebabkan Gen Z memiliki literasi keuangan yang rendah. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut beberapa faktor yang menyebabkan Gen Z punya literasi keuangan yang rendah.
Meskipun beberapa sekolah telah mulai memasukkan materi keuangan dalam kurikulum, namun secara umum pendidikan keuangan masih belum menjadi prioritas.
Di satu sisi, internet memberikan akses mudah pada informasi keuangan. Namun, di sisi lain, informasi yang tidak akurat atau menyesatkan juga mudah ditemukan.
Gaya hidup konsumtif yang digambarkan di media sosial membuat Gen Z terdorong untuk membeli barang-barang yang tidak selalu mereka butuhkan, tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan mereka.
Produk keuangan seperti investasi dan asuransi seringkali dianggap rumit dan sulit dipahami oleh generasi muda.
Jika dibiarkan, rendahnya literasi keuangan para Gen Z ini akan berdampak besar. Berbagai masalah akan muncul jika pengetahuan tentang keuangan tidak segera diperbaiki.
Gen Z cenderung mudah terjebak dalam utang karena kurangnya pemahaman tentang pengelolaan keuangan yang baik.
Tanpa pengetahuan yang cukup, Gen Z akan kesulitan mengatur pengeluaran, menabung, dan berinvestasi.
Kurangnya literasi membuat Gen Z menjadi sasaran empuk bagi penipu yang menawarkan produk keuangan palsu atau skema investasi bodong.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, industri keuangan, dan keluarga. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
Literasi keuangan merupakan kunci bagi kesejahteraan finansial individu dan masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan literasi keuangan Gen Z harus terus dilakukan secara berkelanjutan.
Buat kamu para Gen Z yang merasa kurang mengerti mengenai literasi keuangan, banyak-banyaklah membaca. Kamu juga bisa menonton video tentang edukasi keuangan dari sumber-sumber terpercaya.
Salah satu sumber yang bisa dipercaya adalah edukasi yang diberikan oleh lembaga-lembaga pemerintah atau perbankan. Kamu juga bisa mendapatkan banyak informasi melalui halaman article OCBC.
Baca Juga: Usaha Sendiri atau Jadi Karyawan, Mana yang Lebih Baik?