Wall Street sepanjang bulan Agustus berhasil mencatatkan penguatan dengan ketiga Indeks utama Dow Jones Indistrial Average, S&P 500, dan NASDAQ composite masing-masing meningkat sebesar 1.76%, 2.28%, dan 0.65%. Musim laporan keuangan korporasi Q2-2024 telah mencapai puncaknya di akhir bulan Agustus kemarin. Berdasarkan data Factset untuk earnings Q2-2024 tercatat sebanyak 79% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 telah berhasil melaporkan kinerja keuangan Q2-2024 yang melebihi ekspektasi, dan 60% diantaranya melaporkan pendapatan di atas ekspektasi. Hal ini yang mendorong penguatan untuk bursa saham AS secara keseluruhan di bulan Agustus lalu dan juga kinerja sektor teknologi yang membaik setelah pada perdagangan bulan sebelumnya mengalami penurunan yang signifikan.
Di pertemuan Jackson Hole, Jerome Powell meredam kekhawatiran pelaku pasar dengan pernyataan yang mengindikasikan pelonggaran kebijakan bank sentral akan segera dimulai. Kini, perhatian pelaku pasar saat ini tertuju pada kebijakan suku bunga Federal Reserve, dimana berdasarkan konsensus Bloomberg, diprediksi The Fed akan memangkas suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak tahun 2022 lalu. Hal ini juga didukung oleh rilisan angka inflasi AS untuk bulan Juli yang kembali menurun dari level 3% ke level 2.9% dan yang terbaru adalah data Core PCE Price Index AS untuk bulan Juli yang sesuai ekspektasi berada pada level rendah yaitu 0.2%.
Di Asia, pemulihan perekonomian China terlihat masih berlangsung sampai dengan saat ini, terlihat dari beberapa indikator utama seperti Caixin Manufacturing PMI bulan Agustus yang telah berada pada zona ekspansi 50.4, meningkat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya di level kontraksi 49.8. Selain itu pula, industrial profit China untuk bulan Juli meningkat dari level 3.5% ke level 3.6%. Sementara itu, pemerintah China tetap berkomitmen untuk mendukung perekonomian dengan kebijakan yang akomodatif, diantaranya dengan mempertahankan tingkat suku bunga dasar pinjaman atau loan prime rate yang rendah di bulan Agustus ini, baik untuk tenor satu maupun lima tahun di level 3.35% dan 3.85%.
Beralih ke domestik, neraca perdagangan Indonesia untuk bulan Juli kembali dirilis surplus sebesar US$ 470 juta dengan ekspor yang meningkat di level 6.46% dan impor yang juga meningkat di level 11.07%. Kenaikan neraca perdagangan ini menjadikan kenaikan untuk 51 bulan secara berturut-turut. Selain itu, tingkat inflasi domestik pada bulan Agustus berada di level 2.12% dalam setahun terakhir, lebih rendah jika dibandingkan periode sebelumnya di level 2.13%, di tengah beberapa harga pangan dan komoditas yang cukup terkendali. Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia memutuskan kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 6.25% pada bulan Agustus lalu. Bank Indonesia menilai keputusan tersebut memadai untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan terbukti rilisan angka inflasi Indonesia untuk bulan Agustus kembali menurun ke level 2.12% y-o-y, sedangkan sebelumnya berada di level 2.13%.
Equity
Bursa saham IHSG kembali mencatatkan kenaikan sebesar 5.72% sepanjang bulan Agustus. Saham di sektor konsumsi siklikal dan sektor properti memimpin penguatan masing-masing sebesar 20.41% dan 12.62%. Penguatan pasar saham di bulan Juli didorong salah satunya dari aliran dana asing yang sepanjang bulan Agustus telah masuk lebih dari US$ 1.84 miliar. Ekspektasi pemangkasan suku bunga Fed yang lebih agresif turut mendorong ekspektasi investor bahwa Bank Indonesia dapat segera memangkas suku bunga acuan. Tingkat suku bunga yang lebih rendah akan memberikan sentimen positif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan tolak ukur seperti pertumbuhan pinjaman atau loan growth untuk bulan Juli yang meningkat dari level 12.3% ke level 12.4% dan juga penjualan ritel Indonesia di bulan Juni yang semakin bertumbuh ke level 2.7%, dari sebelumnya di level 2.1%.
Bond
Pergerakan pasar obligasi di bulan Agustus cenderung menguat, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah Republik Indonesia tenor 10 tahun yang mengalami penurunan sebanyak -3.89% menjadi 6.63%, yang artinya terjadi kenaikan dari sisi harga. Penurunan imbal hasil ini mengikuti imbal hasil acuan US Treasury 10 tahun, yang turun dari 4.02% ke level 3.90% di akhir bulan Agustus. Penurunan imbal hasil ini juga didorong dari aktifitas inflow aliran dana asing ke pasar obligasi Indonesia yang tercatat mencapai US$ 1.31 miliar. Selain itu pula, kenaikan minat investor turut didukung oleh nada kebijakan bank sentral Fed yang mengindikasikan akan segera memangkas suku bunga acuan pada pertemuan bulan September ini (dovish). Ketertarikan dan keyakinan investor asing untuk terus berinvestasi Indonesia juga didukung oleh sentimen positif yang datang dari salah satu lembaga pemeringkat rating Internasional yaitu S&P yang telah mengafirmasi souverign credit rating Republik Indonesia pada peringkat BBB, satu tingkat di atas investment grade, dengan outlook stabil pada 30 Juli 2024. Hal ini juga memberikan pandangan bahwa perekonomian Indonesia masih berada pada level kondusif.
Currency
Mata uang Rupiah kembali bergerak menguat sepanjang bulan Agustus, terlihat dari pergerakannya yang menurun sebanyak 5.21% sepanjang bulan Agustus ke kisaran Rp 15,455 per Dolar AS (USD). Hal ini didukung oleh adanya signal yang semakin jelas dari ketua Federal Reserve Jerome Powell untuk segera memangkas suku bunga acuan pada pertemuan di bulan September ini. Selain itu, dalam pertemuan Jackson Hole pada akhir bulan Agustus kemarin, Jerome Powell menyatakan bahwa “cut off is on the table” yang mengisyaratkan kepastian akan pemangkasan. Selain itu, neraca perdagangan kembali mengalami surplus pada bulan Agustus 2024 sebesar USD 150.2 miliar, meningkat dari periode sebelumnya di level US$ 145.4 miliyar. Selain itu, posisi cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 6.7 bulan impor atau 6.5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Kenaikan cadangan devisa berasal dari penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa migas, dan kenaikan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia