Aset pajak tangguhan adalah aset yang muncul akibat dari beberapa hal.
Deferred tax asset atau aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang dapat dipulihkan di periode masa depan.
Deferred tax asset dapat terjadi akibat beberapa faktor, salah satunya adalah pembayaran pajak yang terlalu banyak.
Nah, untuk mengetahui lebih lanjut tentang cara kerja, contoh serta cara perhitungan aset pajak tangguhan, simak penjelasannya di artikel berikut ini.
Pengertian aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang bisa ditangguhkan untuk periode pajak di masa mendatang.
Deferred tax asset atau dalam bahasa Indonesia yaitu aset pajak tangguhan adalah aset yang muncul akibat dari beberapa hal.
Pertama, adanya perbedaan temporer yang bisa dikurangi. Lalu, akumulasi rugi pajak yang tidak terkompensasi. Terakhir, akumulasi kredit pajak yang masih belum terpakai.
Aset pajak tangguhan muncul karena adanya perbedaan antara jumlah pajak yang tertulis di dalam laporan keuangan dengan kenyataannya.
Dengan demikian, beban pajak berdasarkan akuntansi akan jadi lebih kecil jika dibandingkan dengan beban pajak berdasarkan peraturan perpajakan.
Posisi aset pajak tangguhan adalah terletak pada aset di laporan keuangan. Hal ini karena deferred tax asset memiliki manfaat masa depan bagi perusahaan.
Biasanya, aset pajak tangguhan muncul karena perusahaan terlalu banyak membayar pajak atau berlebih.
Perusahaan membayarkan pajak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang tercantum di laporan laba rugi.
Selain itu, otoritas pajak bisa juga mengakui adanya kelebihan bayar pajak dibandingkan dengan standar akuntansi yang digunakan perusahaan.
Alasan lain munculnya aset pajak tangguhan adalah karena perusahaan membayar pajak di muka atau saat sebelum jatuh tempo.
Aset pajak tangguhan muncul karena beberapa transaksi seperti piutang yang tidak tertagih, jaminan, sewa, persediaan, dan kerugian operasional bersih.
Baca juga: Apa Itu Amnesti Pajak? Ini Arti, Manfaat, Syarat, & Tarifnya
Untuk mengetahui lebih lanjut, Anda bisa melihat contoh dan cara menghitung aset pajak tangguhan berikut ini:
Ada suatu perusahaan yang memiliki nilai penjualan sejumlah Rp100.000.000 per bulan.
Perusahaan memperkirakan persentase klaim garansi berkisar 5% dari total nilai penjualan. Ternyata, perusahaan tidak menerima klaim pada tahun pelaporan tersebut.
Dalam kasus ini, perusahaan akan tetap melaporkan penjualan dan beban garansi karena mengikuti prinsip pencocokan atau matching principle.
Berdasarkan prinsip ini, perusahaan akan tetap memasukkan beban garansi ke dalam laporan keuangan meskipun klaim garansinya tidak diterima.
Artinya, nilai pendapatan sebelum pajak dari perusahaan ini adalah sebesar Rp100.000.000 - (Rp100.000.000 x 20%) = Rp95.000.000.
Meskipun begitu, perhitungan untuk pembayaran pajak sedikit berbeda.
Pasalnya, otoritas pajak tidak memperbolehkan untuk mengakui beban garansi apabila tidak benar-benar terjadi.
Perusahaan tidak akan memasukkan beban garansi ke dalam laporan keuangan ketika menghitung penghasilan kena pajak.
Dengan demikian, perusahaan akan melaporkan pendapatan kena pajak ke otoritas sebesar Rp100.000.000, bukan Rp95.000.000.
Tentu, terdapat perbedaan antara jumlah pajak yang ada di laporan laba rugi dengan jumlah aslinya saat membayar ke otoritas.
Selisih perbedaan tersebut akan dicatat sebagai aset pajak tangguhan di neraca.
Baca juga: 6 Jenis Tarif Pajak yang Perlu Diketahui Wajib Pajak
Dalam laporan akuntansi, aset pajak tangguhan (pajak berlebih) dan liabilitas pajak tangguhan (hutang pajak) tidak dicatat secara terpisah di dalam neraca.
Keduanya digabungkan menjadi satu dalam jumlah bersih (net value). Dengan demikian, Anda tidak akan menemukan kedua akun tersebut di dalam satu neraca.
Nilai bersih tersebut diletakkan di bagian aset apabila jumlah aset pajak tangguhan lebih besar dari liabilitas pajak tangguhan.
Sebaliknya, jika nilai aset pajak tangguhan lebih kecil dari liabilitas pajak tangguhan maka nilai bersihnya akan masuk ke dalam kolom liabilitas.
Berikut ini adalah contoh pencatatan aset pajak tangguhan di dalam laporan keuangan:
Laporan neraca pada akhir tahun 2022 dan 2023 dari Perusahaan A berisi informasi sebagai berikut:
Akhir Tahun | PPH Terutang | Aset Pajak Tangguhan |
---|---|---|
2022 | Rp120.000.000 | Rp15.000.000 |
Pada tabel tersebut, PPh terutang adalah liabilitas lancar berupa hutang pajak. Sedangkan aset pajak tangguhan adalah akun yang masuk ke dalam kolom aset tidak lancar.
Pada laporan laba-rugi Perusahaan A di tahun 2022, mereka mencatat beban pajaknya dengan memasukkan pajak di tahun berjalan dan dikurangi aset pajak tangguhan.
Isi laporan laba-ruginya adalah sebagai berikut:
Laba sebelum pajak | Rp600.000.000 | |
Beban pajak penghasilan | ||
Tahun berjalan | Rp120.000.000 | |
Tangguhan | (Rp15.000.000) | |
Rp105.000.000 | ||
Laba bersih | Rp495.000.000 |
Laporan ini menunjukkan bahwa aset pajak tangguhan dari beban pajak tangguhan mengurangi jumlah PPh terutang atau beban pajak penghasilan pada tahun 2022.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aset pajak tangguhan adalah salah satu bagian aset di laporan keuangan yang menunjukkan manfaat di masa depan.
Adapun beberapa transaksi yang memunculkan aset pajak tangguhan adalah piutang yang tertagih, jaminan, sewa dan kerugian operasi bersih.
Untuk membaca pengetahuan informatif lainnya, silakan kunjungi artikel lain di blog OCBC NISP. Semoga informasi ini bermanfaat!
Baca juga: Utang Pajak: Pengertian, Penyebab, hingga Cara Mengatasinya